Api! Api! Api!

3 04 2008

Cerpen Islami :Api! Api! Api!

Oleh : M. Hasbi Salim

 

   H

adi jarang sekali pulang kampung, maklum sejumlah kesibukannya sebagai PNS dan pimpinan beberapa organisasi kepemudaan di sebuah kota kecil yang cukup jauh dari desa kelahirannya harus dilakoninya. Sehingga, bukan saja membuat ia jarang pulang kampung, tetapi pulang ke rumah pun tidak jarang lebih duluan itik ke kandangnya, kerbau ke  kalang-nya dan elang ke sarangnya.

            Ia biasanya menyempat-nyempatkan pulang kampung pada saat  penataran atau lagi melaksanakan tugas tertentu dari organisasi di ibukota  provinsi (Banjarmasin), karena desanya yang konon tergolong ‘desa terpencil’  tidak terlalu jauh dari ibu kota provinsi.            Hadi akan bermalam semalam di kampung kelahirannya, sebab penataran yang seyogyanya dilaksanakan selama satu minggu  oleh panitia pelaksana jadwalnya dipadatkan, maklum bertepatan dengan tibanya bulan Ramadhan.            Sambil tersenyum Hadi menaiki ojek yang akan mengantarnya ke kampung halamannya. Ia teringat ketika lima belas tahun yang lalu. Saat malam-malam di  bulan Ramadhan. Menyenangkan! Sebab, ia dan teman-temannya beramai-ramai pergi ke surau kecil yang tidak jauh dari rumahnya.               Biasanya, seminggu sebelum Ramadhan tiba, surau Ar Raudhah sudah ‘dimandii’ dan ‘didandani’, hingga bersih dan indah. Untuk mengantisipasi membludaknya ‘jamaah musiman’, maka di eper surau dihamparkan karpet rotan (lampit) sebagai alas, dibentangkan  terpal sebagai atap dan spanduk bekas  sebagai dinding. “Nek! Paman Hadi datang!” Seru Alfi.Bu Hj. Zainah yang dipanggil Alfi “Nenek!” segera menghentikan pekerjaannya dan membersihkan tangannya yang belepotan adonan bingka. Ia sebenarnya tidak terkejut mendengar kehadiran anak sulungnya itu, walaupun  secara mendadak. Hadi memang tidak mau merepotkan ibunya yang single parent dan adik-adiknya. Kalau mereka tahu ia akan pulang, pastilah mereka akan menyambutnya dengan berbagai acara istimewa, seperti mempersiapkan makanan ‘gangan karuh’ dan minuman es cendol kesukaannya. Setelah mengucapkan salam, Hadi langsung menemui ibunya dan mencium tangan perempuan tua yang sudah mulai keriput itu tanpa ragu-ragu. Perbincangan dua-beranak itu pun mengalir bagaikan air hujan yang lebat, maklum banyak berita dan cerita yang hendak disampaikan. ‘Curhat’ lagi! Saat senja tiba. Hadi bergegas pergi ke surau untuk melaksanakan shalat berjamaah. Ia heran melihat surau yang nampak sepi. Suasana gelap lantaran hanya disinari lampu pijar 5 watt sebanyak dua buah. Ini pemandangan yang sangat kontras jika dibanding dengan rumah-rumah penduduk yang diterangi  ratusan watt.“Dulu, surau menggunakan dua buah lampu pitromak, namun cahayanya jauh lebih terang dari ini,” kenang Hadi. “Belum lagi sejumlah obor dan lampu tembok yang sengaja ditempatkan di tepi jalan.Kini, listrik sudah masuk desa,  aneka benda elektronik bukan barang mewah lagi, parabola bertengger hampir di setiap rumah,  tak terkecuali sebuah rumah tua yang ada di ujung desa. Tower tempat penyangga antena  telepon selular pun berdiri dengan angkuh  di sana-sini.Kok, sepi amat?” Hadi membatin. Hadi kembali ke rumah dan bergegas menemui ibunya yang hendak menyusulnya.“Sekarang ada berapa surau di kampung kita ini?’’ tanya Hadi.Kok, pertanyaanmu aneh begitu, Di?” Ibunya balik bertanya. “Sejak zaman kamu kecil dulu sampai sekarang, bahkan mungkin nanti tetap satu saja.” “Lalu, ke mana orang-orang kampung pada jam begini,” tanya Hadi. “Entahlah!” jawab Bu Zainah.“Tidak tahu!?” suara Hadi meninggi dangan mata terbelalak.“Maksud Ibu, sekarang mereka kira-kira ada di rumah masing-masing, tetapi, Ibu tidak tahu apa yang sedang mereka kerjakan,” jelas Bu Zainah. “Kenapa kamu…?” Astaghfirullahul azhiim!” Hadi sadar. “Yang ditanyakan soal orang lain, kenapa aku emosi kepada ibuku sendiri?” lanjutnya di hati. “Maafkan Hadi, Bu,” ucap Hadi. “Tidak apa-apa,” jawab Bu Zainah maklum.Setelah melaksanakan shalat magrib, Hadi melangkah ke lorong desa menelusuri jalan setapak yang rumputnya sudah hampir menutupi seluruh badan jalan.Di sebuah rumah megah yang bercat ungu terdengar oleh Hadi orang-orang tertawa terbahak-bahak. Dari balik gurden yang sedikit tersingkap ia melihat ada beberapa orang lelaki dewasa sedang  nonton televisi  chanel  luar negeri. Di ruang tamu,  seorang pemuda sedang mengotak-atik laptop, sepertinya ia lagi chatting. Di ujung beranda rumah seorang remaja putri senyum-senyum sendiri, barangkali ia sedang ber-SMS ria. Di bebangkuan depan rumah dua orang ABG  menggoyang-goyangkan kepala, mereka sedang menikmati musik melalui  head set yang menempel di telinganya. Nampak lucu sekali! Bagaikan dua buah pohon yang diterpa angin ke sana-ke mari, sebab satu head set mereka pakai berdua. “Goyang terus!” ucap Hadi seraya meninggalkan tempat itu. Kedua ABG itu kian tenggelam dalam keasyikan musik rok yang non-stop.Hadi kembali ke surau. Di halaman surau nampak sejumlah anak kecil berlari-larian ke sana–ke mari. Tiba-tiba muncul dua sosok lelaki yang cukup dikenalnya, Pak Marzuki, sang kaum yang merangkap imam surau, usianya sudah berkepala enam dan seorang pemuda bernama Fauzi, muazin tetap.  “Hadi! Kapan datang?” sapa Pak Marzuki dan Fauzi berbarengan.“Tadi siang,” jawab Hadi.“Ngomong-ngomong, mana jamaah yang lain?” tanya Hadi tak sabar menahan keingintahuannya yang menggumpal di dada. Ia mencoba mencari jawabannya dengan menyapu pandangannya ke segenap penjuru.“Yang penting malam ini ada tambahan jamaah,” ucap Pak Marzuki berdiplomasi.“Siapa?”“Ya, kamu.”Hadi geleng-geleng kepala. “Apakah anak-anak kecil yang bermain di luar sana itu akan ikut bergabung dalam shalat berjamaah nanti?” Tanya Hadi.“Mereka hanya shalat Isya, setelah itu bermain. Dan, akan datang lagi menemui Pak Mar seusai taraweh.”“Untuk apa?”“Meminta tanda tangan, untuk mengisi lembar laporan kegiatan Ramadhan yang diwajibkan sekolah.”Hadi termenung. Sesaat kemudian, ia melangkah  ke sebelah kanan surau. Seingatnya ada beduk lengkap dengan pemukulnya di situ. Lama ia mondar-mandir dengan mata liar. Ia juga ingat betul bahwa untuk mengumpulkan masyarakat desanya  cukup dengan memukul beduk yang ada di surau itu. Namun, benda yang dicarinya tidak terlihat sama sekali. “Mana beduk, Zi?” tanya Hadi.Fauzi nampak kebingungan.“Mana beduk?” ulang Hadi dengan suara meninggi.“Untuk apa?” ucap Fauzi. “Kau mau mengambil kulit kerbaunya untuk direbus, lalu dibikin cingor buat makan sahur?” ledek Fauzi.“Aku lagi serius, nich!” bentak Hadi.Melihat keadaan mulai memanas, Pak Marzuki mendekat. “Sabar, Nak Hadi!” ucap Pak   Marzuki. “Untuk apa kau mencari beduk?” lanjutnya sambil mengelus-elus bahu Hadi. “Untuk  mengumpulkan orang-orang agar shalat berjamaah di surau ini bersama-sama,” ucap Hadi.“Hadi! Hadi!” ucap Pak Marzuki geleng-geleng kepala. “Kau rupanya benar-benar tidak tahu perkembangan masyarakat di sini lagi. Makanya kalau meninggalkan kampung halaman jangan lama-lama!”Hadi makin bingung. “Ada apa?” desaknya. “Begini, Di!” ucap Pak Marzuki penuh wibawa. “Di sini beduk sudah lama punah. Sebab sudah ada alat-alat komunikasi penggantinya yang lebih canggih, misalnya; pengeras suara, handpone, radio, stasion televisi mini bahkan internet. Dengan beberapa pencetan saja pesan sudah sampai ke tujuan, kenapa harus menggunakan beduk?” jelas Pak Marzuki.  Dengan mata yang memerah Hadi melangkah ke depan paimaman, lalu meraih microfon dan berteriak, “Api! Api!! Api!” Kontan saja suara Hadi  menggema ke seluruh penjuru desa bahkan sampai ke desa tetangga.Saat kemudian terdengar orang-orang sibuk. Sejumlah kakek meraih sertifikat tanah. Beberapa orang pria menenteng ijazah keluarganya. Ibu-ibu berlari mengamankan kotak berisi emas-permata.Hadi mengambil sajadah-sajadah lusuh lalu membakarnya di eper surau. Lalu,  kembali meraih microfon dan berteriak. “Api! Api! Api Neraka!”Orang-orang berdatangan dari berbagai penjuru. Masing-masing mereka menenteng sebuah ember berisi air yang siap untuk memadamkan api.“Biarkan saja!” ucap Hadi lantang.  “Siapa yang berani memadamkan, akan kubunuh!” lanjutnya  sambil membusungkan dada.Orang-orang tertegun.Kepala desa mendekati Hadi. “Kalau dibiarkan,  surau kita yang satu-satunya ini akan ludes,” ucap Kepala Desa dengan suara memelas. “Sayang kan?”“Biar saja!” ucap Hadi. “Yang penting harta-benda kalian sudah aman!” cetusnya.“Tapi, kalau api  merembet ke rumah penduduk, maka rumahku dan rumah ibumu juga kena,” lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.Tiba-tiba empat orang polisi menangkap Hadi. Lalu, membergol dan menyeretnya.“Jika kalian masih memerlukan surau, padamkanlah! Tetapi, jika tidak, biarkan saja!” ucap Hadi sesegukan dengan airmata yang kian deras.*** Rumpiang, 11 Ramadhan 1428 H. e-mail : hasbi.salim@Yahoo.co.id                                                                   Amuntai, 1 Oktober 2007                                                            Kepada Yth.                                                            Pengasuh Rubrik Seni dan Budaya                                                            Banjarmasin Post                                                            Di- BanjarmasinDengan hormat, Saya sangat gembira atas munculnya kembali DAHAGA di media ini. Sebagai tanda suka cita, saya kirim sebuah cerpen dengan judul : Api! Api! Api!Besar harapan saya kiranya cerpen ini bisa dipublikasikan.Terus terang saya sudah mengirim cerpen ini ke media ini melalui fax dan email. Namun, khawatir kalau gagal, maka saya kirim melalui surat kembali.Terima kasih. Wassalam, M. Hasbi Salim                           Amuntai, 1 Oktober 2007                                                            Kepada Yth.                                                            Pengasuh Rubrik Cerpen                                                             Radar Banjarmasin                                                            Di- BanjarbaruDengan hormat, Mengingat fax dan email saya bermasalah maka saya kirim melalui surat cerpen saya yang berjudul : Kucing dalam KarungBesar harapan saya kiranya cerpen ini bisa dipublikasikan.Terima kasih.  Wassalam, M. Hasbi Salim